Sela-sela Birokrasi

Ekspedisi budak dua ini masih berlanjut. Selepas dari bank harus kembali ke kantor jaminan kesehatan. Karena tujuan utama adalah kantor jaminan itu. Dan segala pernak pernik yang harus dilalui adalah proses menuju itu. Benar ya, hakikatnya adalah semua usaha. Kalau tidak mau usaha, mana pernah bertemu orang-orang demikian dengan segala tingkah—tidak karuan. 

Adik dan Kaka memutuskan untuk salat dulu. 
Kaka : “Salat dulu ya dik, di masjid agung.”
Adik : “Iya, ka.” (Kaka selalu mengajak dalam kebaikan. Dan emang sudah waktu salat, adzan dhuhur selesai dikumandangkan, bergegas menuju masjid yang kurang lebih 10 menit dari bank. Salat (lebih baik) tepat waktu)
**

Alhamdulilah, sedikit lega. Persyaratan sudah dilengkapi. Dan lebih membuat nyaman, adalah terik matahari yang bisa diredam dengan dinginnya marmer di masjid agung. Kaki yang menelapak, rasanya cess

Adik : “Ka, adik wudhu ya”, ijinnya dan menyerahkan tas ransel yang dibawanya. Kaka yang kebetulan di waktu itu sedang mendapat tamu bulanan, jadi hanya menunggu adik di selasar masjid.

Kaka yang selalu mengantarkan adik, menyetir. Karena kaka lebih tinggi jam terbangnya. Dibanding adik, yang juga bisa mengendarai motor, hanya saja belum punya SIM, membuat kaka ragu juga dengan kemampuan menyetir adik. Tidak mengapa bagi adik, suatu nikmat ketika hanya duduk di belakang, tidak menahan gas motor matic, yang membuat lengan sedikit pegel atau kaku usai nyetang.

Adik : “Ka, ada surat edaran di dalam, ditempel di lemari mukena. Tulisannya, tidak menyediakan alat salat sebagai upaya pencegahan penyebaran virus covid.”
Kaka : “Wah iyakah.. lupa ya, kenapa ga bawa mukena dari rumah.”

Tambah pengalaman lagi, fenomena di saat pandemi ini. Membuat adik harus menambah usaha agar bisa salat. Dan mungkin koreksi untuk dua hal, harus membawa alat salat atau perlengkapan sendiri ketika bepergian. Satunya lagi, ungkapan adik,  “Begini amat yak”, kalimat ‘tak habis pikir’ yang terucap dari bibir adik. 

Motor merah yang seperti kumbang ini melaju, untuk menemukan masjid, dengan bantuan GPS. GPS terlalu canggih mendeteksi masjid, dan masjid di dalam sekolah turut hadir dalam ekspedisi, harus putar balik, karena gerbang dikunci, masuk ke dalam gang. Dan ketemu jalan buntu, hanya melihat kubah masjid dari kejauhan ternyata di balik rumah yang ujung, tidak ada akses jalan untuk motor. Putar balik yang ketiga kalinya, alhamdulillah menemukan destinasi untuk lapor kepada Gusti (Allah). 

Masjid Al-Muhajirin, terimaksih atas tempat suci ini. betapa berharganya masjid ketika bepergian, untuk menunaikan kewajiban dan sekedar rehat, dan menyambati segala yang ditemui dalam perjalanan, termasuk kali ini. (lamunan, Adik ketika salat)

Setaswall.com/mosque-wallpapers


Kaka setia menunggu, Ka, aku berusaha tidak membuatmu kecewa, meskipun sulit untuk sama. Terimakasih atas segala kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton