Jaminan Kesehatan !/?

Sedari pagi, perjalanan 2 gadis yang terpaut 2 tahun umurnya (kaka dan adik), hendak menuju kota kabupaten. Perjalanannya bertujuan untuk mengurusi jaminan kesehatan. Sebelumnya tidak perlu diurus, rasanya. Karena dua gadis itu masih ngikut orang tua yang kebetulan mendapat jatah sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara).

Oh ternyata, setiap orang bertambah umur, begitupun si gadis, kaka beradik. Yang menyadari hal itu ketika harus mengurusi jaminan kesehatan, atau disebut pembaharuan—menjadi mandiri. Mandiri disini secara keterangan, seharusnya ketika seseorang itu sudah memiliki penghasilan dan bisa membayar tagihan tiap bulan, yang disesuaikan dengan gaji.

Boro-boro, gadis yang posisinya adik, hanya nguntit keluarga. Belum punya penghasilan. Kalau gadis satunya—si kaka, sudah ada pemasukan dari hasil mengajar dan memimpin majlis. Sedang si adik yang hanya bermimpi menjadi penulis, ikut jadi kontributor (freelance), terkadang dikalahkan dengan rasa malas dan tidak memenuhi ‘dedline’, walhasil tidak ada uang masuk. Naasnya lagi, si adik baru menyelesaikan studinya. Sedang fasenya, pengangguran banget. Lha ko, bayar tagihan perbulan.“Nanti ibu yang bayar” (ucap ibu gadis). Gadis yang posisinya menjadi adik itu, hanya menuruti, dan pasti lega. Apa tidak malu?, cukup dirasakan sendiri.

Resepsionis : Silahkan buka rekening, ini persyaratannya silahkan dilengkapi, nanti kembali kesini, saya kasih formulir.

Adik & Kaka : Iya ibu. Nanti kalau membayar harus melalui rekening yang dibuat nanti?

Resepsionis : Tidak harus, kalau misal tidak mau mengambil tagihan dari tabungan, silahkan membayar manual sebelum tanggal 5 dalam setiap bulan.

Adik & kaka itu mengiyakan, dan memutar motor di tempat parkir untuk menuju salah satu kantor bank. Segala perintah dan prasyarat, sudah dianiatkan oleh kaka beradik untuk dipenuhi. Karena sebelumnya, sudah mendapat petuah Ibu, untuk segera mengurusi sistem semacam ini. tidak ada jalan lain, selain menuruti, yee kan?


Pemandangan di kantor jaminan kesehatan; ada bapak yang datang bersama anaknya dan nampak wanita paruh baya sepertinya orang tua si bapak (nenek dari anaknya). Sama halnya dengan kaka beradik itu, namun bapak dan dua anggota keluarganya itu pindahan dari daerah Kalimantan ke Jawa. Terjadi dialog yang alot, bapak yang bersikukuh dengan argumen bahwa sudah mengurus surat pindah tapi masih saja tidak bisa menggunakan kartu jaminan sosial (kesehatan)  itu. Namun, resepsionis juga tidak serta merta percaya si bapak. Bahwa, ketika administrasi sudah tersistem akan berubah otomatis. Syahdan, si bapak melebur, mengikuti saran resepsionis untuk mengurus berkas dari awal, dan mencoba input data baru. Fiuhh...


Sumber: Liputan6.com


Banyak sekali ekspresi yang ditemui di satu tempat itu saja. Ada yang berpakaian necis, layaknya konglomerat, ada yang bersendal jepit, ada yang cuek tak senyum, tapi juga tidak murung, dari mulai anak-anak (bayik) sampai orang tua, hilir mudik di kantor itu. Satpam sibuk mengatur jarak antrean, dalih menuruti protokol kesehatan. Apakah birokrasi bukan penyebab terganggunya kesehatan rakyat(?)

Jaminan kesehatan yang digadangkan pemerintah untuk menjamin serta melayani masyarakat, sudah cukup. Tapi masih saja pikiran negatif menyergap, apakah ini semua dirasakan oleh masyarakat, dan apakah diri sendiri (kaka adik), ini sudah menunaikan kewajibannya sebagai warga negara yang pas?

Kaka : Baru satu tempat, dik, sambi menarik gas motor perlahan menjauh dari kantor Jamsos (jaminan sosial; kesehatan)

Adik : Iya ka, sepertinya akan menunggu lagi, part II.

Usai birokrasi satu tempat, dengan durasi waktu (menunggu) 30 menit, hanya menanyakan syarat saja. Oh Lord, Allah... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton