Tangis

Bangun pagi, menuju aktivitas rutin. Menuju kamar Umik Zah untuk merapikan kasur dan seisi kamar Umik. Alhamdulillah wa syukurillah, memiliki kesempatan itu. Terkadang mensyukurinya perlu diingatkan oleh orang lain. Seperti kata Misbah, santri PBSB yang masih studi. "Kapan lagi mbak, punya kesempatan "nderekaken" Umik", tuturnya lewat pesan WA yang pada waktu itu saling curcol tentang pengabdian. Saya tertegun, dan membenarkan, berusaha mengundang kesadaran saya. Betapa harus bersyukur yang tiada terkira. Alhamdulillah, sekarang sudah terbiasa dan sadar dengan apa itu pengabdian. Tapi, tidak melulu mengulang atau menggunakan kata 'pengabdian'. Melainkan, ini memang bagian dari hidup saya, kehidupan saya yang tidak mungkin dilewat. 


Bersih-bersih pagi itu rasanya campur aduk. "Kamu tahu Abah Achyar?", tanya Umik. Saya tahu, Abah Achyar, beliau adalah guru, ulama, kiyai, panutan, santri Hasyim Asy'ari. Beliau tepat di tanggal 5 September hari Sabtu ini, kapundut ilaa rahmatillah. "Sumpyuh", sambung Umik. Umik mengungkapkan, belum ada pengganti Abah Achyar. Ulama NU entek (habis). 


Nyulaki, nyapu, lempit slimut tidak fokus. "Ya, Allah bertubi-tubi, dari Mbah Duri, Mbah Multazam, dan hari ini Mbah Achyar", lemes dari hati. 


Hari ini, hari kelahiran saya. 5 September, saya menapaki umur 23 tahun. Ketika bangun tidur, saya membuka mata, merasakan syukur masih diberi waktu di hari kelahiran. Namun, sekaligus diingatkan, disusul dengan kabar kematian dari salah satu ulama kami. Ya Allah.. umur, kematian, kelahiran, semua rahasia-Mu. Berlaku syukur dan raja', semua itu bersamaan.


Mbah Achyar, semoga Khusnul khotimah. Nyuwun bimbingan saking mriko, kangge sedoyo murid-murid.ipun panjenengan.


 

Sugeng Tindak Abah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton