Jilbab Sama Dengan 'Shalihah'?

Dari buku Mba Kalis Mardiasih, Muslimah yang Diperdebatkan

Buku yang saya baca ini, membuat mata saya terbelalak, terasa melebar dengan sendirinya. Kenapa saya memilih buku ini sebagai buku bacaan saya? Saya suka dengan penulisnya, Mba Kalis; dengan pemikirannya, sekaligus dalam menuliskan dalam karya (buku). Terlebih beliau juga berbicara tentang perempuan, namun dari sudut pandang yang luas. Melebar kepada Islam, dan konteksnya di nusantara. Inilah yang terangkum dalam buku beliau yang berjudul “Muslimah yang Diperdebatkan.”

Saya tidak menangkap pembahasan dari tiap-tiap sub judul. Namun ada hal-hal yang saya pin, sekarang saya mencoba tulis ulang dengan bahasa saya, dan hendaknya ingin saya bagi sesama teman, laki-laki atau perempuan.

-Jilbab/kerudung sebagai simbol perempuan shalihah (?)-

Dipaparkan oleh sosok Humaira dalam buku Muslimah yang Diperdebatkan. “So, please start accepting me for what is in my head, rather than what is on it.” Kurang lebih bermakna, Melihat seseorang itu tidak hanya dari selembar kain di atas kepala, tapi dari dalam kepala itu (intelektual). Memang benar, jilbab adalah identitas muslimah, namun bukan satu-satunya ciri atau penentu seseorang itu shalihah. Mungkin terlalu sempit. 

Suatu kasus, misalkan sesorang perempuan yang bekerja untuk keluarganya. Pekerjaan yang ia miliki mengharuskan membuka jilbab. Apakah itu dapat dicap ketidakbaikan (tidak shalihah)? Padahal apa yang ia lakukan begitu mulia. Lantas, jika tidak bekerja, bagaimana nasib keluarganya? Shalihah dalam sebuah utas, memiliki arti memiliki keutamaan bagi perempuan. Tidakkah menghidupi keluarga adalah keutamaan bagi (kasus: perempuan) yang mengusahakan? Tidak perlu mencaci, ketika melihat perempuan yang tak berhijab, jika tidak sesuai cukup biarkan. Asal tidak membenarkan diri hanya karena berjilbab saja! Namun, adanya demikian, ungkapan “Perempuan Shalihah adalah yang berjilbab, menutupi aurat”. Oke.

-Kerudungku, adalah kemerdekaan diri-

Pembahasan akan sedikit melebar. Setelah ‘Jilbab’, terdapat frasa selanjutnya yang masih booming sampai saat ini, yaitu “Syar’i”. Label yang digandrungi dan menjadi trendy. Dari tren ini, kemudian ditilik di Indonesia, jilbab mengandung unsur budaya. Mba Kalis juga menceritakan jilbab yang erat kaitannya dengan simbol budaya. Ketika para hijaber mengkoarkan syar’i (menutup aurat, sekaligus panjang semampai). Bagaimana Indonesia menanggapi syar’i yang semakin mengepakkan sayap? Indonesia, memperkenalkan bahwa “Kerudung, adalah kemerdekaan diri.” Ketika melihat, Ratu Jaroe yang berjilbab namun bebas menari. Tidak selamanya muslimah adalah yang bertahan dengan jilbab besarnya yang harus menutup sebagian tubuh, sehingga menghambat dalam aktivitas atau kreasinya. 


“Kerudung di negeriku bertenaga. Memerdekakan pikiran, gerak badan, tangan, dan suara. Kerudung di negeriku bukanlah yang terlihat dalam berita, anak-anak berkarnaval mengangkat senjata, tapi kerudung di negeriku adalah penuh kasih sayang dan keindahan” -Mba Kalis-


Muslimah perlu berpikir luas. Jilbab tidak sekedar tentang aurat atau aib. Muslimah yang menobatkan diri sebagai hijaber—penganut jilbab syar’i, adalah mereka tidak menyetujui jilbab yang tidak menutupi aurat (seluruh tubuh kecuali telapak tangan, wajah—tidak jarang melengkapi dengan cadar, padahal ada yang tidak menyukai karena cukup mengganggu aktivitasnya; gerah atau bekerja). Hal yang harus kita tahu, jilbab di Indonesia sudah ada sejak dulu, nampak dalam tarian Aceh, salah satu sudut pandang bahwa jilbab tidak membatasi ruang gerak muslimah. Memperhatikan ukuran, tidak membayangkan ketika jilbab sampai mata kaki, namun menari dengan gesit yang meliputi gerakan jongkok lalu berdiri, atau tari saman, mungkin kesrimpet-srimpet tur mbulet. Oleh karena itu jilbab disesuaikan, cukup jilbab simpel..

Tidak semata perempuan yang salihah, adalah berjilbab dan jilbabnya panjang sampai mata kaki, hampir menyapu tanah, lalu perempuan yang dicirikan lemah lembut taat dengan suami, tidak bisa menulis atau bersuara. Karena dinilai bukan menjadi haknya, ketika perempuan harus melawan arus.  

Jilbab tidak berkutat dengan hal demikian (aurat) saja. Jilbab adalah bagian dari perempuan. Namun tidak membatasi ruang gerak berekspresi. Perempuan tetap bisa beraktifitas, dan bebas memilih untuk berjilbab atau tidak, tanpa mengurusi tingkat kesalihahan seseorang. Lebih arif lagi, adalah tidak menyalahkan dan merasa paling benar. Mun arek hayu, mun henteu teu nananon, Kalau ada yang mengikuti berjilbab panjang boleh saja. Dan jika ada yang tidak berkenan, juga biasa saja, tanpa embel-embel ancaman atau anggapan kebenaran dari diri sendiri, “Muslimah shalihah adalah yang berjilbab” akan ditambah dalil melawan perintah Allah, masuk neraka, dan terus berbuntut panjang. Ighfirliii, ighfirlanaa.

Holiday Book :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton