Pengabdian #Day 4

Kemarin, di 8 Juli 2020 seperti puncak dari keributan hati dan pikiran. Khususnya dalam proses mengabdi ini. Sedari pagi, saya sudah mencoba bangun pagi, tapi tidak langsung mandi. Saya mandi pukul 9.00 a.m sepertinya. Dan menuju ndalem atas, barangkali ada yang bisa dikerjakan. Seperti hari-hari sebelumnya, ngupas kulit ari kacang tanah. Tapi kacangnya tinggal sedikit, hanya tinggal blender dan itu tugas Baiti, saya belum bisa.

Buku yang diambil di #Day 1, selesai saya baca di #Day 4


Pagi-pagi, suasana seperti mencekam namun cerah di langit. Saya mendapat pesan dari Ibu dan Mbak, menanyakan kabar saya di pondok. Aktivitasnya apa saja. Saya menjelaskan sedetailnya, apa yang menjadi kesibukan saya, termasuk mlititi kacang, memenuhi setiap panggilan Umik, dan belum ngaji karena masih hadas. Ibu terlalu khawatir, memang selaiknya demikian. Beliau takut, kalau saya hanya diam-diam saja di pondok. Karena belum ada santri, jadi kegiatannya belum ada. Kurang lebih "piye ya adik piye ya..", demikian yang dituturkan pada Mbak. Saya biasa saja, meskipun sebenarnya saya juga memikirkan kalau saya hanya diam-diam, pasti ada rasa ewuh. Tapi saya mencoba bertahan, untuk seminggu dan menunggu waktu suci, dan saya bisa ada jadwal tetap untuk setoran. Saya sejak awal sudah niat, kalau saya mondok irus (sekalian) ngabdi. Jadi sekiranya ngabdi belum aktif, berarti saya mondok dulu. Semoga ibu dan keluarga sehat dan tidak berlebihan, du'a bid du'a. 

Sedikit rasa kesal, di-slimurkan dengan saya main gadget. Walaupun saya sadar harus ada batasan, untuk tidak update status dan membuka status terlebih dahulu, terkadang mematikan data. Setidaknya itu komitmen pada diri dulu. Jadi pas ngaji nanti, tidak kagetan, ngaji dan tetap berdampingan dengan alat elektronik. Percayalah itu mengganggu, kalaupun tidak--sifatnya adalah tantangan. Harus pinter-pinter mengendalikan diri. Kembali pada kata slimur sebelumya. Saya main gadget, dengan dalih ada chat di grup Kesayangan dan akhirnya bisa video call-an. Fyi, ketika rasa khawatir dan bingung, ketenangan diri adalah pertama dan utama sebelum mengambil langkah selanjutnya.

Beranjak siang, Alhamdulillah saya diutus Umik untuk menemani ndamel criping dan sirup khas Umik. Iya benar! Pengabdian yang menurut orang lain bukan demikian (ada yang berpendapat begitu). Tapi saya, 'asalkan saya tidak diam'. Itu batas minimal saya. Ketika jujur, saya hendak menanyakan pengabdian saya terkait lembaga sosial, saya mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya, Mama masih sibuk dengan pesanan kue. Selain itu saya belum ada satu minggu. Untuk kadar maju ke tahap selanjutnya terlalu terburu-buru sepertinya. Dan Mama sudah mengungkapkan, di minggu ini baru ada pertemuan pertama. Jadi bisa jadi minggu berikutnya untuk tindak lanjutnya. Jadi perlu sabar, survive, legowo. Apapun, didukani (dimarahi) atau dirasani diterima dulu. Rasa yang tidak enak, cukup dirasakan sendiri. Jadi alhamdulillah bertahan sampai hari ke-4.

Dan saya juga ada senengnya. Sekitar pukul 4.30 p.m saya menghubungi si Mas dan ditelpon balik. Oke rasa keperempuananku muncul. Saya berbagi cerita. Ahaa. Kegelisahan tentang menunggu kabar dari pengasuh dan meyakinkan orang rumah. Lantas dibilang 'Sabar dan turut prihatin', diakhiri dengan semangat. Ah dasar saya. Dengan cerita (begitu saja) lega luar biasa.

Ketika malam, diutus Umik mijit suku (kaki) beliau. Umik sedang sayah (capek), mungkin karena seharian sibuk dengan criping. Untuk umur 70 ke atas beliau masih kuat. Ketika sayah demikian, wajar. "Sa, maem dulu. Saya tunggu, Umik minta tolong diterapi di kaki", Umik. Saya mengiyakan. 

-Pengabddian- di KBBI adalah PROSES ☺️

*Criping: makanan ringan (kripik) yang berbahan pisang belum masak, lantas digoreng

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton