Pengabdian #Day 14

18 Juli 2020

"Tek (kok) tidak tambah, lalaran (murojaah) juga", ucap Baba setelah saya selesai dan mengucap shodaqallah al-'dzim. Berganti hari, berganti waktu setoran, Baba selalu andil. Ikut menyimak, menyoroti makharijul dan tartil bacaan Qur'an saya. Malam sebelumnya, saya setor dan murojaah ayat yang saya ulang di waktu setor pagi itu (setelah subuh). Ketika malam (sebelumnya) saya dipinta untuk mengulangi hafalan, jadi saya mengiyakan. Namun ada komentar yang membuat saya malu, dan harus menyadari kebenaran itu, "Itu hapalannya tidak lulus, harus diulang", demikian ungkap Baba, yang kebetulan disitu banyak kang-kang pondok (ndalem Baba-Mama sedang mengolesi kue kacang dengan kuning telur, berkumpul semua. Saya sudah habis sehabisnya. "Tiada daya, benar, bukan siapa-siapa, tak bisa apa-apa. Demikian usaha, yang harus diulang dan diulang", pekik saya dalam hati.

Alhamdulillah di pagi, bisa mengulang dengan lancar, sekaligus komentar yang mendukung, untuk saya sregep nderes dan nambah hafalan. Memang demikian adalah cara, untuk bisa berubah lebih baik. Disalahkan, dan memang belum benar. Terimakasih:)

Kata Baiti, "Siapa tau dengan disalahkan, nanti dapat kemudahan, lancar selanjutnya", tegas sekali. Saya terhenyak dengan ucapan yang menurut saya memiliki makna, dan setelah dicerna berulangkali adalah benar. "Barokah Pak Kiyai, Mbak. Sekalipun itu sebuah kritikan (membangun)."

Ada cerita tambahan, 

Ketika menyebut Baba, seorang Kiyai. Baiti menyambung pada sebuah cerita terkait julukan atau panggilang masyarakat pada Baba. Baba tidak berkenan dipanggil Gus atau Kiyai. Beliau langsung menggertak seseorang yang memanggil dengan sebutan itu. "Sopo sing Gus, Aku Umam, ora Gus. Aku ora Pak Kiyai, Pak Kiyai adalah Abah Amin (Bapaku), ora aku", jelas Baba mantap pada orang, teman, masyarakat. Lantas aku terpantik pada ingatan di beberapa tahun silam. Suatu hari ada telpon masuk, mengaku dengan nama Umam. Saya membalas dengan mengucapkan bahwa saya tidak kenal. Ternyata, setelah beberapa waktu, bertanya-tanya. Beliau adalah Gus Umam (Baba). Saya sontak kaget, jelas saya kenal beliau. Beliau adalah guru, kiyai saya. Namun, karena beliau tidak mengenalkan dengan sebutan Gus, atau Baba, saya tidak ngarah nama Umam adalah pak kiyai saya sendiri. Sedemikian, beliau tidak mau bangga diri. Semoga selalu sehat Baba dan keluarga, Umik, dan seluruh keluarga YPI ASWAJA. Aamiin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton