Pengabdian #Day 11

15 Juli 2020

Umik menangis

Umik meminta disimak ngaos, sudah lama saya tidak menyimak. Karena nyimak Umik seperti kebiasaan harian. Sekitar empat tahun lalu, itu terakhir. Dan terulang hari ini. Sekali duduk, Umik mengaji dua juz. Luar biasa bagi saya. Di umur 84 tahun, masih dalam ingat. Juga, beliau mulai menghafal di usia senja ini. 

"Umik punya hafalan lima juz. Juz lima, dapat setengah. Dan lupa terus. Umik tidak sejak muda hafalan. Abah tidak mendukung, dan Umik sendiri belum krenteg. Baru saat ini. Ya Allah, menyesal." (Diam, ternyata air mata keluar, mengalir di pipi, dan terdengar sesenggukan)
Umik teramat sedih, jika mengingat penyesalan. "Ya Allah, paringi sabar."

Saya tidak bisa biasa saja. Saya terhanyut dengan cerita Umik, mulai dari Aliyah yang tidak tuntas, sudah dinanti pasangan. Beliau menikah, mengaji dengan Abah, dan mengajar santri. Tapi tidak menghafal. Ditambah pula, beliau masih memulai hafalan dan bisa nderes, hanya satu dua salah. Saya disini menengok diri sendiri. Betapa saya masih grotal-gratul. Saya masih seperempat, deresan. Dan sampe mengulang-ulang, layaknya dandani

Kangge ngedem ati, "Kulo sinten, beliau sinten. Nggeh mboten tutuk pancen". Selesai nyimak, sampai la yua khidzu kumullah. Minum kopi, menjadi penutup simakan sore itu. Umik dan saya (keikut) dibuatin kopi creamer. Nangis dipadu dengan kopi panas, adalah pas. 

Allahummarhamna bil qur'an

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton