Pengabdian #Day 1




Kamar Khodijah, disini bersama mereka 'Cah Ndalem'

Hari pertama saya mengabdi, 5 Juli 2020. Sebelumnya saya sudah menginap satu malam. Karena saya datang di pondok pada hari sebelumnya, tanggal 4 Juli 2020 (Sabtu) setelah maghrib. Konon, saya mendengar dari guru ngaji, malam Ahad dan malam Rabu adalah baik untuk memulai mengaji. Sehingga sampai sekarang, saya ugemi perkataan guru saya itu.

Malam yang tidak ada keganjalan. Sudah niat bismillah. Diantar Bapak ke pondok, depan koperasi. Bapak langsung pulang. Saya ingat kata Umik, kalau tidak ada perlu penting, tidak usah menemui terlebih dahulu (masa Covid-19 ini). Sehingga, Bapak hanya mengantarkan tanpa menyerahkan langsung (ada semacam ucapan titip pada Umik). Semoga cukup, dengan sowan saya sebelumnya. 

{(Bapak, ibuk, mbak, adik, luar biasa, saya selalu ingat kalian. Saya disini mendoakan dan mencoba kuat karena kalian)}.

Malam yang singkat, saya memulai dengan senyum lega dan mencoba mengajak adik-adik (cah ndalem) menonton film dan makan jajan yang saya bawa dari rumah. Malam itu, ada Baiti, Anita, dan Nafis (Njum). Satu malam terlewat. Saya anggap sebagai pemanasan. Saya belum sempat menghadap ke Mama dan Baba, karena pada malam itu beliau sedang tindakan.

Ternyata satu malam jika dituliskan panjang juga ya. Padahal niatnya mau menceritakan hari pertama, yang dimulai sejak pagi sampai malam, sebelum mata tertidur pulas. 

**
Pagi. Sebelum ada sinar matahari saya terbangun pukul 2.00 a.m. Ternyata, terlalu pagi untuk saya bangun dan saya dalam keadaan udzur. Dan kembali mencoba tidur. Alhamdulillah, mudah sekali tertidur lagi. Dan saya bangun ketika subuh, mendengar ‘bel’ Umik, isyarat membangunkan sekaligus mengajak santri salat jamaah.

Semakin terang, dan bersiap untuk beraksi. Wkkw, kaya jihad, eh. Saya berniat mandi pagi bergegas untuk menghadap Mama dan Baba. Sebelum terealisasi, masih pagi, saya mencoba membuka laptop. Saya menulis di buku “Buku Catatan Calon Penulis”, dan saya mengetik sesuatu, tapi saya lupa. Lantas mandi pukul 7.00 a.m dan lanjut menghadap Mama, alhamdulillah berlangsung lancar. “Mungkin sementara ngaji, kalau nanti sudah suci. Dan bantu-bantu saya. Kalau tidak Senin atau Selasa saya ketemu Pak Darmawan, membicarakan program yang saya utarakan tempo hari.” Saya mengiyakan. Ya! Sebelumnya Mama sudah mengatakan, kalau pengabdian saya tidak mengajar. Namun, melibatkan saya di lembaga sosial (LKBM: Lembaga ... Berbasis Masyarakat). Intinya sementara saya manut, dan sudah dibilang sejak awal, kalau saya pasti ikut ngurus pondok, kalau semua sudah normal. Untuk sekarang santri masih di rumahkan. Laa haula walaa quwwata illaa billah...

Ngoceki Kacang dan Beresin Perpustakaan Mama,

Itu agenda saya di hari pertama. “Sa, biar cari buku Mama lebih gampang. Kamu susun ulang, kitab Baba ditaruh di belakang”, ungkap Baba. Dan saya siap, bergegas melaksanakan. “Bisa baca-baca buku Mbak, nanti dikembalikan”, pesan Mama. Dan saya mendapat beberapa buku, lalu saya sendirikan agar saya gampang mengambilnya. Tapi, saya membawa dua buku dulu ke pondok. Judul bukunya Pernikahan (Ir. Jarot Wijanarko) dan Senyuman Karyamin (Ahmad Tohari). Sampai hari kedua saya masih asyik membaca. Terlebih tentang pernikahan. Hahaha. Cukup ciamik dibaca. Sudah saatnya juga membaca tentang hal itu, khazanah ilmu adalah poin utama. Dan ketika sudah 'up' dengan buku *ul*ar itu, saya berpindah ke buku Ahmad Tohari. Sehingga saya bisa ngegas dan ngerem. Ketika nafsu yang mendominasi, buku Senyum Karyamin membantah itu semua. Bahwa ingat bung! Hidup itu perjuangan (rekoso). Tidak melulu nikmat, yang mungkin hanya bersifat sementara. Tapi ingat, semua adalah bagaimana dalam memaknai dan menjalani lalu menerima. Sehingga bisa disimpulkan, nikmat atau ujian adalah sama. Dan harus dilalui dan dirasakan. Alhamdulillah.

Masih dilanjut, Ngoceki Kacang. Bahan untuk membuat kue kacang. Mama memiliki usaha food and cookies. Jadi setiap hari tidak berhenti mencium bau butter, susu, dan nikmatnya ketika dioven. Tidak perlu mencicipi dengan lidah, hidung saya sudah mengiyakan rasanya. Dan saya disitu, selalu mencoba sadar. “Inilah bagian dari mengabdi. Bukan wujud apa yang dilakukan, tapi rasa (niat) yang telah tertunaikan, sekalipun wujudnya atau aktivitasnya adalah random. Semoga selalu dalam arahan Allah”, tenangku. 

Ketika malam, saya diutus Umik menemani di kamar. Saya dituturi, “Sebisa kamu, ajarkan pada santri, Sa. Keterampilan atau seni apapun. Kamu bakal ngurus adik-adik. Saya tidak mau kamu dianggap sebagai teman. Tapi kamu dihormati. Bukan karena ingin, tapi memang harus ada sopan santun. Kamu lebih tua dibanding adik-adik. Kamu bukan guru, sehingga dengan cara selain menjadi guru kamu diajeni (dihargai)”, tutur Umik. Perasaan saya tersentak, dan bersyukur, serta ada rasa bak beban yang harus dipikul. Sebelumnya, Umik dengan tegas memberitahu santri (cah ndalem) tentang keberadaan saya. Dan sama seperti yang diungkapkan di atas. Hendaknya para santri ini ada panutan dan mau manut. Demikian, bagian dari tugas saya. Saya sebelumnya bercerita dengan Baiti. “Anak sekarang itu berbeda, dalam hal saling menghormati atau nurut. Lebih susah, dan lebih ke sesuka hati sendiri.” Berat memang, manusia menghadapi manusia. Malam kedua (dihari pertama), saya cukup tahu dan menyadari. Bismillah lagi dan terus. “Ini wirid, silahkan dibaca, dan diulang-ulang”, beritahu Umik. “Deres juga silahkan”, timpal Umik.

Komentar

  1. Kubaca ulang tgl 22 April 2022, dengan kondisi duduk yang sama, tapi tempat duduk berbeda. Rasanyaaa....

    BalasHapus
  2. I read this, in istiqlal mosque. 30 December 2022

    BalasHapus
  3. Bisa gitu ya, saya ulangi, hampir tepat satu tahun. Hari ini, 7 Desember 2023

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton