Pengabdian #Day 6

Hari dimana tangis saya tumpah. Ternyata hari ini pecah celengannya. Ibu mengabari kalau sedang di dekat pondok. Tepatnya di kantor kecamatan. "Kalau mau, nyusul ibu kesini", hanya itu saja pesannya. Saya bergegas menuju Baiti dan Mba Inun, menceritakan kalau ibu saya sedang di dekat pondok. Saya berniat ketemu. Mengungkapkan itu saja kepada Mba Inun dan Baiti, saya menangis, tidak tertahankan. Ya Allah, berat banget ternyata. Posisi diam itu tidak enak, seperti saya saat ini. Tidak bisa berkontribusi apapun, dan selalu dihantui "Hanya pindah tempat tidur saja", na'udzubillah.. 

Alhamdulillah pertemuan dengan ibu terwujud. Minum jus dan roti panggang, sekitar 30 menit menghabiskan waktu bersama ibu. Menyampaikan apa adanya yang saya hadapi di pondok. Kegiatan berserta diamnya saya. Sempat di tanya, "Apakah tidak disuruh pulang?". Tidak ada perkataan demikian, atau pengasuh meminta saya pulang terlebih dahulu. Saya hanya mencoba bertahan di pondok sampai saat ini. Tidak tahu besok. Saya tidak mau usik, saya cukup usik dengan rasa dalam diri. Ibu akhirnya mengiyakan, menyarankan untuk dicoba sampai akhir Juli. Nanti ada wisuda, ijin pulang dulu. Dan bagaimana respon lanjut dari pengasuh. Satu lagi yang great, di depan ibu saya tegar. Biasa, cekikian. Padahal sebelum berangkat, saya meyakinkan dan menahan tangis untuk tidak keluar lagi. Kurang lebih 20 menit membutuhkan waktu untuk itu. Dan saya mengantongi ijin dari Mama, untuk keluar sebentar. Dan langsung menuju lokasi ibu.

Cukup, membuat saya teguh setelah mencurahkan isi hati pada ibu. Untuk menghadapi dan lebih bersikap bodo amat. Saya yakin ketika pada waktunya, saya juga hadir. Bismillah..

Kembali ke pondok,
Saya bercerita lagi, karena kesibukan bercerita adalah yang saya tekuni di minggu pertama pengabdian ini. Saya bercerita tentang adik kelas pondok yang sudah menikah beberapa bulan lalu. Dikasih tau Baiti. Kaget bukan main. Karena, dulu dia teman hafalan di pondok yang masih unyur. Suka bercanda tipikal orangnya. Tapi tidak tahu ya, bagaimana jodoh. Humor atau suka bercanda bukan patokan jauh-dekat jodoh seseorang. Alhamdulillah, begitu akhir dari percakapan. Dulu adik kelas saya itu, sempat ikut tes PBSB, di Bandung. Jahadnya saya, tidak menemuinyaa karena kegiatan organisasi pada waktu itu padat. Dan dasar saya, tidak menyempatkan. Ah menyesali bukan jalan terbaik. Mendoakannya atau main suatu saat nanti adalah lebih baik. Aamiin

Sore,
Kabar berbeda lagi. Kabar kehilangan, Mbah Duri Sedo (wafat). Sekitar pukul 2.00 p.m. Ya Allah, mautul 'alim mautul 'alim, adalah kesedihan yang mendalam. Tidak adanya panutan yang seperti beliau. Semakin buruk suatu keadaan setelah meninggalnya seorang 'alim. Inna lillahi wa Inna ilaihi Raji'un. Semoga Mbah Duri tenang, dan meninggal khusnul khotimah. Amalan yang masih saya dawamkan, wirid setelah salat Maghrib : membaca surat Al-Insyiroh 7 kali, dilanjut 3 ayat pertama surat Al-Fath sebanyak 11 kali, dan membaca Yaa Fattahu 71 kali (sambil tangan kanannya diletakkan di dada kiri). Wirid atau amalan yang diijazahi (diberi) semenjak SMP, sebelum saya kenal Mbah Duri itu siapa. Karena waktu SMP, ada doa bersama ketika hendak menghadapi UN, dan beliau yang mengisi mauidhoh hasanah. Demikian pesan beliau, dan saya coba dawamkan sampai saat ini. Dan ketika Aliyah saya bertemu beliau, adalah guru saya (mengajar bulughul maram--kitab hadis), dan saya baru ketahui beberapa tahun (sudah di Aliyah), ternyata saya sudah pernah bertemu sebelumnya, dan saya ugemi (ikuti/panuti)  dari pesan amalan beliau. Allahu Yarham, Al-fatihah...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton