Pengabdian #Day 8 (Saia/Saya)

12 Juli 2020

Selamat Asa... Sampai satu minggu jugak, survivor!

Weh, ternyata saya bisa. Sudah pendak (sepekan) hari terlalui. Alhamdulillah pula, sudah tidak hadas dan bisa mengaji. Allah tau-tau lebih atas hamba-Nya. Saya hendak mengaji setelah Maghrib, tapi Mama belum berkenan, karena masih mengajar ngaji adik-adik (putra-putri) Mama-Baba. Setoran diganti setelah ba'da isya'. 

"Saya manut, menyesuaikan jadwal Mama", ucap saya
"Iya Mbak, sekarang saja. Deres dari juz 1 atau 30?", tanya Mama
"Mengulang nggeh Ma?", tanya saya balik
"Kemarin sampai juz berapa?", percakapan yang berisi pertanyaan
"Dari pondok sini, 4 juz Ma. Dilanjut semasa kuliah sampai juz 8", jawab saya
"Oh iya Mbak, setoran sama deres seperempat ya", saran Mama

Alhamdulillah malam itu dimulai dengan ziyadah juz 9, dan deres seperempat pertama juz 1. Kami, Mama dan saya mengambil jam yang pas untuk ngaos, kalau tidak beres subuh, beres asar, atau beres isya'. Asalkan sehari dua kali (kalau bisa). Dan yang ditekankan adalah deres (murojaah). Dua kali murojaah, diantara dua murojaah itu ditambah dengan ziyadah satu kali. Maa syaa Allah, betapa lebih pentingnya murojaah, mengulang. Tidak sebatas banyak, dan selesai. Saya mengira, ini tantangan (riyadhoh). Tapi saya juga harus ingat, bukan karena Mama. Wasilah Mama (guru, penyimak, panutan) untuk 'bungahaken' Bapak-Ibuk, mugi Allah paring ridhonipun

Ketika saya ngaos, tidak hanya Mama yang menyimak, tapi Baba juga turut. Baba lebih kepada tartil dan makharijul huruf. "Coba Sa, ngajimu pelan sedikit", pinta Baba. Dan saya bisa menyesuaikan walaupun banyak ketukan. Percayalah manteman, ngaji pelan itu lebih kerasa dan bisa fokus. Semoga bisa Istiqomah, karena saya punya kebiasaan kurang baik. Ngaji cepet, dan berpartokan dengan tujuan. Jangan dulu ya Sa. Ditata hatinya, dipelankan ngajinya, dinikmati proses (yang tidak sesuai dengan kebiasaanmu).

Hal yang memalukan, tapi sebuah pembelajaran 

Diutus Umik, melepas jahitan di jarit/samping batik. Ada alatnya, pinset (mungkin) namanya, atau apa saya lupa. Dulu pernah dikenalkan di masa SMP, tata busana; beberapa dan macam-macam alat jahit. Tapi versi Umik berbeda. Umik mengajari dengan cara, 'benang ditarik sampai berkerut dan tegang, lalu dipotong/diputus benangnya menggunakan jari'. Cara ini memang terbukti lebih cepat, karena benang yang terputus panjang dalam waktu singkat. Sedangkan jika dipinset, dilepas perbenang (jahitan), dan waktunya lama. Mungkin manteman ada yang paham dan tidak dengan bahasa saya. Intinya, cara yang dipakai Umik lebih efisien dan saya belum bisa, meskipun diajari sebelumnya. Karena, jujur saja itu kali pertama buat saya. Malu? Pasti, ada rasa malu. Saya tidak bisa, ketika ada hal yang terlihat mudah, dalam arti tidak perlu rumus, bahan, dan teori. Tapi pengalaman Umik yang jauh lebih banyak, jam terbang tinggi dalam mengarungi kehidupan, kebutuhan sehari-hari. Semua itu, jauh tertinggal bagi saya. Terimakasih atas ilmu barunya, Umik.

Sekali lagi, selamat ya Saia. Semangat dipompa terus, hati-hati meledak! Celainilah .

Inilah Saia, dari kelembutan kreasi tangan Teh Hans, Si Luas Hati



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton