Pengabdian #Day 3

7 Juli 2020

Rak Buku, ditinggal sejak Maret


Pagi, bangun tidur, Umik merasa sayah, walhasil minta tolong dipijat. Dan disitu pula, ketahuan kalau saya bisa mijat berkat dari jurusan saya (Tasawuf dan Psikoterapi). Dua kali saya dimintai tolong Umik, untuk memijat. Saya sendiri Alhamdulillah, ketika apa yang pernah saya rasakan dan dapatkan bisa dirasakan orang lain.

"Saya suka pijatan kamu, Sa", ungkap Umik.

Percakapan berlanjut, sampai dengan jurusan saya yang ternyata mengajarkan pijat dan berbagai terapi. Yang awalnya Umik minta tolong cah ndalem untuk memanggil tukang pijit, akhirnya dibatalkan. "Udah, sama Mbak Asa aja, pijatannya udah enak," begitu tutur Umik. Namun ketika pagi itu, pijatnya belum beres (selesai), beliau ditelfon anak-anak beliau. Dan memutuskan berhenti, dan saya sama Baiti disuruh balik ke pondok.

Percakapan Umik dan putra-putri beliau sempet terdengar oleh saya. Putra-putri Umik memang jauh-jauh. Saya kurang hafal siapa saja, tapi yang bersama Umik hanya Baba dan Ummah. Selainnya tinggal di luar kota. Percakapan Umik seputar hewan qurban yang akan disembelih di akhir bulan nanti (Idul Adha), dan juga guyon-guyon renyah.

"Sudahlah jadi orang biasa saja. Cukup. Sudah ada menteri pedesaan, menteri apalagi", sambung Umik panjang. Dua nama menteri yang disebutkan, adalah menantu Umik. Putra-putri Umik memang banyak yang terjun di politik dan parlemen. Maa syaa Allohhh. Namun ada juga yang berbeda, seperti Baba dan Mama (istri Baba) lebih merambah ke bisnis dan tetap nguri-uri pesantren Abah Amin, serta dibantu Ummah dan Abi. 

Saya coba susun quote (panjang) dari hari pengabdian ke tiga. Setelah ada kejadian di pagi hari, yang membuat saya sedikit berpikir. Dan dilanjut dengan ego saya ketika stalking di Gugel tentang serba serbi pesantren. "Pondok saya memang berbeda dengan pondok lain. Berjalannya pondok saya memang tidak sama dengan sistem pondok lain. Ternyata, perbedaan itu yang tidak mungkin disamakan dengan pondok lain, yang mungkin secara lahir terlihat Wah Keren. Padahal berbeda itulah yang Wah. Dengan sederhana, dari mulai pengasuh yang dekat sekali dengan santri, pengajaran yang berbasis pembekalan sumber daya pesantren, dan menunjukkan siapa yang benar-benar mau mengaji dan mengabdi, itulah pondok saya. Tidak untuk dipukul rata, dan pada umumnya. Dan oh iya, memang berbeda. Saya suka!", hasil renungan ala-ala saya, bahwa 'Pengabdian itu Dinikmati. Bukan membeda-bedakan sistem pesantren, yang jika diterapkan di pesantren saya (misal), belum tentu cocok. Karena tidak sekedar untuk dipandang orang luar, tapi bagaimana pondok tetap lestari dengan hadirnya santri yang menyukai sistem pondok saya.

Di satu hari berbeda waktu. Sedikit siang,  muncul ego saya--mulai merasakan kejenuhan jika hanya melakukan hal yang sama, dalam posisi itu adalah mlititi kacang. Kebetulan teringat dengan kata Ka Haydar. Jangan cuma bantu masak, harus ada output yang lebih. Ya, sepertinya ada benarnya, tapi cukup sebagai wejangan. Yang terpenting rasa mengabdi, dan melalui setiap harinya tetap dengan sadar diri, selalu dibolak-balikkan. It's better. "Walah demikian kata orang, tapi diri saya masih saja bertahan dan ga nangis. Sudah berjalan empat hari (jiileh baru empat hari), Alhamdulillah enjoy, belaku; 'Malulah jika nangis, sudah besar, dan dengan pilihan sendiri, meskipun iya menangis silahkan, wajar, ini baru pemanasan (adaptasi), tidak langsung sibuk, malah bisa kaget, Yee kan?'." (memang dasar susah nangis, kalau pas kebetulan bisa, ya susah berhenti).

Tapi Allah selalu tau, dan saya mendapat insight. Mulai tau dan bisa komunikasi dengan rekan baru. Bercanda, dan hari #Day 3 spesial. Banyak teman yang ternyata luar biasa pengabdian kepada Baba dan Mama, personil baru, yang saya kenal. Krimun, Rafi, dan Alfi. Krimun, pegawai Niki Remen, yang masih ngaji di pondok, dan malam ke kedai. Sedangkan Rafi dan Alfi, sibuk jadi editor kitab yang disusun ulang oleh Guru Hasyim Asy'ari atas utusan Baba. 

Saya hanya Oh dan Wah...

Masih ada cerita sedikit, di malam hari.

Diutus Umik, seperti malam sebelumnya, merapihkan baju. Tapi berbeda dengan yang kemarin. Hari #Day 3, membungkus baju-baju yang masih bagus itu, untuk diberikan kepada saudara dan orang-orang yang membantu Umik. Sesekali ada rasa cape, karena sampai jam 11, baru selesai. Tapi ada saja plot twist dari Ummah yang malam itu menemani Umik dan kami saat packing-packing. Pesan beliau berdua, "Eh, Mbak Asa, ustadzah itu ga usah isah-isah. Nanti yang isah-isah itu kang-kang pondok. Begitu yaa..??!!". Saya tersenyum, mengangguk. Karena sebelum itu, saya dipergoki Ummah sedang cuci piring, padahal itu niatnya bersihin satu toples Tupperware, diutus Umik. Tapi melihat banyak piring kotor, saya sambi cuci. Dan akhirnya, saya berhenti dan tetap banyak piring kotor, karena keburu Ummah tau.

Oke Asa, kamu diorangkan disini. Semua orang sudah tau. Walaupun belum ada tugas yang jelas terkait santri. Tapi pengasuh dan cah ndalem yang sedang di pondok sudah tau, kalau kamu bakal di pondok, masuk di jajaran pengasuh. Tolong ingat, ini sebuah awal. Jangan sekedar menilik aktivitas, tapi juga orang-orang yang sudah mengetahui kamu. Sekalipun kamu tidak berbuat apa-apa. Tolong lagi, jangan mengecewakan. Dan menikmati dimulai sejak hari pertama, hari ini, dan esok. Masih banyak keajaiban yang sama sekali tidak tergambar, terlewat di pikiranmu. Allahumma lancar berkah. Tidak tahu barokah, atau apapun atas hamba datang dari mana. Suka-suka Allah.
 
 
"Ini baju gamis buat Mbak Asa. Ustadzah pake gamis", Ummah di malam itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan Kesetaraan Dari Abi Quraish Untuk Pasangan Suami Istri

Pengalaman Saya Menjadi Perempuan

Profesor Grafton